UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM DAN ETIKA BISNIS


NAMA : LENNY ADHINOER FAMILIASARI R.N 
NIM : 160321100069

KASUS 1.

Adanya persengketaan merek dagang antara PT Sinde Budi Sentosa (logo cap badak) dengan Wen Ken Drug Co (Pte)Ltd (logo cap kaki tiga). Dimana PT Sinde menerima lisensi untuk menggunakan merek dagang Wen Ken Drug Co (Pte)Ltd di Singapura. Kesamaan kemasan antara dua merek ini menimbulkan persengketaan bisnis, sehingga kemudian di perlukan suatu penyelesaian hukum. Analisalah Kasus ini berdasarkan “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Bisnis” !

Jawab :
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan intelektual manusia yang memiliki manfaat ekonomi. Konsep dasar tentang HaKI berdasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah diciptakan atau dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan waktu, tenaga dan biaya. Pada 1978, PT Sinde Budi Sentosa menerima lisensi untuk penggunaan merek dagang cap Kaki Tiga dari Wen Ken Drug Singapore. Namun, lantaran persyaratan yang diminta pemilik merek Kaki Tiga begitu berat, PT Sinde Budi Sentosa memutuskan memproduksi larutan penyegar cap Badak. Perubahan ini adalah non teknis, pemberi lisensi dari Singapura Wen Ken kepada Sinde Budi Sentosa memberatkan dari segi hukum dan lainnya. Maka manajemen Sinde Budi Sentosa mengambil keputusan ganti merek logo dari cap Kaki Tiga menjadi cap Badak

Dasar Pengambilan keputusan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek Pasal 76 ayat (1) yang menjelaskan bahwa: jenis bentuk tuntutan gugatan atas pelanggaran merek terdaftar terdiri atas gugatan ganti rugi atau penghentian penggunaan merek yang dilanggarnya. Ganti rugi dapat diwujudkan dalam bentuk nyata dan dinilai dengan uang. Ganti rugi immateriil berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh penggunaan merek dengan tanpa hak dan mendapatkan ganti rugi secara moral.

KASUS 3.

Adanya keterlambatan keberangkatan selama 90 menit dari maskapai Wings Air, menyebabkan seorang konsumen (David ML. Tobing) mengalami kerugian. Pihak maskapai tidak memberikan informasi yang memadai akibat keterlambatan tersebut, sehingga David mengajukan gugatan terhadap kasus ini kepada pengadilan untuk memperoleh kerugian dan meminta pengadilan untuk membatalkan klasul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan ini (hal yang dilarang oleh undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen). Analisilah kasus ini berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen!

Jawab :
Masalahnya, meminta ganti rugi kepada perusahaan penerbangan tidak semudah membalik telapak tangan. Selain adanya klausul baku pengalihan tanggung jawab, ada juga batas maksimal tuntutan ganti rugi yang diizinkan peraturan perundang-undangan. Jumlah  maksimal ganti rugi yang bisa dituntut calon penumpang atas keterlambatan pesawat hanya satu juta rupiah. Aturan itu tegas disebutkan pada pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Itu pun hanya untuk kerugian yang nyata-nyata dialami calon penumpang, plus kerugian disebabkan pengangkut.
Itu sebabnya, selain meminta ganti rugi, David juga meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan. Dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lion juga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.
Diteranya klausul ini pada tiket, mengacu pada Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatsblad 1939/100), yang Pasal 28 menyatakan kecuali diperjanjikan lain, pengangkut bertanggung-jawab untuk kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang.
Klausul baku tersebut bertentangan dengan Pasal 18 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal ini melarang pelaku usaha mengalihkan tanggungjawabnya lewat pencantuman klausula baku. Pencantuman klausula baku jenis ini, batal demi hukum.
Pasal 18 UUPK
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selain UUPK, yang juga menjadi dasar perbuatan melawan hukum (1365 BW) ialah pernyataan bahwa perusahaan angkutan  bertanggungjawab atas keterlambatan tertera dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:
1.   Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
2.   Teliti sebelum membeli;
3.   Biasakan belanja sesuai rencana;
4.   Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
5.   Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6.   Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Selain itu, pihak penerbangan yang bersangkutan juga harus memberikan kejelasan tentang alasan keterlambatan penerbangan. Hal itu bertujuan untuk menjaga tingkat kepercayaan konsumen. Serta perusahaan harus memberikan despensasi kepada penumpang atas keterlambatan penerbangan supaya para penumpang tidak kecewa atas service yang diberikan.

KASUS 5.

PT Dirgantara Indonesia dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga Jakarta Pusat, setelah adanya permohonan dari pemohon mantan karyawan PT DI (Heryono, Nugroho dan Sayudi) pada tanggal 3 Juli 2007. Alasan yang mendasarinya berupa adanya hutang yang jatuh waktu dan dapat ditagih, adanya kreditor lain. Menurut anda, bagaimana analisa seharusnya kasus PT DI ini dari segi hukum kepailitan bisnis!.

Jawab :
Kepailitan PT. Dirgantara Indonesia Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang yang mengatur tentang Kepailitan sekarang ini Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang ini dibuat dengan cakupan yang lebih luas baik segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-piutang. Cakupan yang luas ini diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan seputar kepailitan dan kewajiaban pembayaran utang. Undang-undang ini juga mengakomodir asas-asas dalam hukum kepailitan yaitu, asas kesinambungan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, asas integrasi.
Berdasarkan pemaparan proses kepailitan PT. Dirgantara Indonesia di atas dan melihat tentang penerapan Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam menyelesaikan kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia. Pengajuan Permohoanan kepailitan adalah harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) adalah:
a. Debitor harus mempunyai dua atau lebih Kreditor
b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Berdasarkan syarat yang mendasar dari pengajuan permohonan pailit tersebut, maka terhadap kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia sudah bisa dikatakan memenuhi syarat dasar kepailitan tersebut. Bahwa PT. Dirgantara Indonesia mempunyai kreditor-kreditor yaitu mantan karyawan dan juga kreditor lain Bank Mandiri dan juga PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Sedangkan pengertian utang Pengertian Utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah : “ Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang- undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. “
Dari pengertian utang diatas, maka pengertian lebih luasnya menyangkut kompensasi pensiun mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia, karena kompensasi pension tersebut muncul dari adanya perjanjian yang dasarnya adalah perjanjian hubungan kerja. Kewenangan yang mengajukan permohonan pailit juga harus diperhatikan. Dalam Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila debitor adalah BUMN yang berhak mengajukan pailit adalah Menteri Keuangan. Menurut Rahayu Hartini, beliau juga mendefinisikan BUMN yang dapat dipailitkan yaitu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, jika diterapkan dalam menyelesaikan kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia sering terjadi perbedaan penafsiran pengertian terhadap jenis atau bentuk BUMN yang di maksud dalam Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Hal ini juga terjadi perbedaan penafsiran antara Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung, khususnya dalam menilai kepemilikan modal dalam PT. Dirgantara Indonesia. Akan tetapi jika dilihat dari data yang ada maka sebenarnya PT. Dirgantara Indonesia memenuhi klasifikasi sebagai BUMN yang seluruh sahamnya adalah milik Negara, dan juga merupakan perusahaan yang sangat dibutuhkan karena merupakan objek vital nasional.
Kelemahan dari penerapan Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terutama dalam menghadapi kasus kepailitan BUMN adalah, karena dalam Undang-Undang tersebut belum mengatur secara detail mengenai prosedur dan tata cara pemailitan suatu BUMN.
Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap kepailitan khususnya kepailitan PT. Dirgantara Indonesia adalah bahwa dalam menerapkan Pasal 8 Ayat (4) tentang pembuktian sederhana, hal ini sangatlah terlalu dini jika kita melihatnya hanya secara fakta atau keadaan tanpa verivikasi lebih jauh lagi terhadap dampak-dampaknya. Berdasarkan ketentuan dalam Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam menyelesaikan proses kepailitan BUMN antara lain PT. Dirgantara Indonesia kurang menyeluruh dan kurang memberikan kepastian hukum karena masih saja ditemukan kesimpang siuran penafsiran dalam pengertiannya. Oleh karena itu hakim juga hendaknya mempertimbangkan asas-asas yang ada dalam penjelasan Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Akibat Hukum Bagi Para Pihak Atas Putusan Kepailitan PT. Dirgantara Indonesia
Permohonan Pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia yang diajukan oleh mantan karyawannya ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berakhir pada putusan Pailit PT. Dirgantara Indonesia. Selanjutnya setelah PT. Dirgantara Indonesia pada Tanggal 4 September 2007 dinyatakan Pailit, tentu membawa akibat hukum terhadap perusahaan tersebut. Menurut Munir Fuady, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu sebagai berikut:
a. Berlaku demi hukum
Akibat yang paling besar dari berlakunya demi hukum adalah berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitor (Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 21, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU) dan debitor kehilangan hak mengurus (Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU) Dengan akibat hukum yang besar tersebut, selayaknya hakim benar-benar cermat dalam mengambil keputusan pailit suatu perusahaan, apalagi menyangkut suatu BUMN yang berhubungan dengan kekayaan negara melalui penyertaan modal.
b. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason.
Akibat-akibat hukum yang lain yang merupakan dampak kepailitan tersebut adalah menyangkut pembayaran kompensasi pensiun tersebut. Pembayaran kompensasi pensiun akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: “ Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
Putusan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia dirasa terlalu dini, karena Hakim seharusnya memperhatikan asas kelangsungan usaha dan asas keadilan yang ada pada Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada, kemudian PT. Dirgantara Indonesia melalui kementerian Keuangan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Kemudian kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia berujung pada Pembatalan Putusan Pailit oleh Mahkamah Agung yaitu dalam Putusannya Nomor : 075 K/Pdt. Sus/2007. Pembatalan putusan pailit tersebut berakibat hukum bahwa terhadap PT. Dirgantara Indonesia tetap dapat melanjutkan kegiatan usaha seperti biasanya. Proses kepailitan yang pernah dihadapi oleh PT. Dirgantara Indonesia hendaknya dijadikan pengalaman serta motivasi untuk lebih maju dan mengembangkan usaha yang lebih berkualitas dan memperbaiki manajerial di dalamnya. Sehingga proses kepailitan ini memberikan akibat hukum yang luas bagi para pihak, antara lain:
1. Bagi PT. Dirgantara Indonesia sebagai suatu Institusi
Upaya yang dilakukan PT. Dirgantara Indonesia sebagai akibat atas proses kepailitan yang telah dilalui adalah melalui upaya perbaikan secara menyeluruh di tubuh PT. Dirgantara Indonesia.
Akibat hukum yang dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia sebagai suatu institusi dalam hal ini sebagai suatu Badan Usaha Milik Negara adalah dengan melakukan Restrukturisasi. Hal ini berdasar pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yaitu dalam BAB VIII tentang Restrukturisasi dan Privatisasi. Pengertian Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan (Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 Tentang badan Usaha Milik Negara). PT. Dirgantara Indonesia setelah mengalami proses pailit, selanjutnya akan melakukan Restrukturisasi Bisnis yang bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi (economic value) perusahaan. Untuk itu dilakukan kajian kembali terhadap semua lini usaha berdasarkan economic viability dan strategic value, dan hanya mengembangkan lini usaha yang berprospek serta terkait langsung dengan core competency dan visi/misi perusahaan. Pengembangan lini usaha ini dijabarkan dalam program value creationyang menghasilkan peningkatan penjualan Kemudian akan disusul langkah trategis yang didasarkan pada misi perusahaan saat ini. Adapun strategi yang digunakan untuk jangka panjang meliputi dua tahap sasaran perusahaan, yaitu:
b. Tahap Konsolidasi dan Survival (2001-2004)
c. Tahap Sehat dan Tumbuh (2005- dan seterusnya)
Dari kedua tahap sasaran tersebut, diikuti oleh langkah-langkah strategis, antara lain:
a. Reorientasi Bisnis
Hal ini dilakukan dengan memfokuskan kegiatan usaha yang semula berjumlah 18 bidang usaha dan di fokuskan menjadi 5 bidang usaha yang berkompeten, yaitu meliputi: Aircraft, Aerostrukture, Aircraft Services, Defence, Engineering Services.

b. Restrukturisasi Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Hal ini dilakukan dengan beberapa target yaitu dengan penyusunan struktur organisasi yang baru yang akan disesuaikan dengan pelaksanaan reorientasi bisnis. Sedangkan restrukturisasi bidang Sumber Daya Manusia antara lain program Rightsizing melalui program pension dini sukarela dan penerapan Job Establishment and Grading System (JEGS)didasarkan pada keahlian / kompetensi.

c. Restrukturisasi Keuangan dan Permodalan
Menciptakan struktur keuangan dan managemen keuangan yang baik dan kuat, karena faktor keuangan sangat penting dalam pengembangan usaha.

d. Program Peningkatan Kinerja
Program peningkatan kinerja ini ditujukan untuk menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global.

2. Bagi Pemegang Saham
Peranan pemerintah dalam perekonomian melalui BUMN, pemerintah bertindak sebagai pemilik atau penguasa untuk atas nama rakyat. BUMN adalah merupakan pelaksana dari hak Negara untuk menguasai, bukan untuk memiliki sumber-sumber ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sedangkan pemiliknya adalah rakyat karena kedaulatan (sicio-demokrasi) ada di tangan rakyat.
Kepemilikan saham dalam PT. Dirgantara Indonesia adalah 100% (seratus persen) oleh Pemerintah. Dengan kata lain seluruh modalnya di miliki oleh Negara. Yaitu pemegang sahamnya adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan. Proses kepailitan pada PT. Dirgantara Indonesia hendaknya pengajuannya atas persetujuan Menteri yang terkait dalam hal ini Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan. Proses kepailitan ini berakhir pembatalan kondisi pailit PT. Dirgantara Indonesia, oleh karena itu terhadap para pemegang saham tetap pada kondisi seperti semula, yaitu saham tetap dimiliki oleh Negara oleh Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Untuk mendukung langkah PT. Dirgantara Indonesia dalam melanjutkan kegiatan usaha, maka Pemerintah dalam hal ini dikuasakan kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan, maka upaya yang harus dilakukan kementerian tersebut adalah menyiapkan beberapa perangkat kebijakan dan pengawasan terhadap operasional, serta lebih mengoptimalkan kinerja PT. Dirgantara Indonesia. Pemerintah sebagai pemilik modal, harus mengontrol serta mengawasi kinerja BUMN sehingga jauh dari korupsi, kolusi di dalamnya. Pengawasan tersebut melalui mekanisme yang ditentukan dalam Undang-Undang, yang meliputi aparat pengawas intern, komite audit, dan komite lainnya. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kemandirian serta kelanjutan usaha PT. Dirgantara Indonesia dan lebih luas lagi untuk upaya penyelamatan asset Negara yang ada pada PT. Dirgantara Indonesia. Sehingga akan dapat memberikan keuntungan bagi keuangan Negara.

3. Bagi Para Kreditor
Pengertian Kreditor menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah :
“ Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. ”
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi kreditor PT. Dirgantara tersebut adalah mantan karyawan PT, Dirgantara Indonesia yang telah diputus hubungan kerjanya pada kisaran Tahun 2003-2004. Piutangnya adalah kompensasi pensiun yang timbul dari perjanjian dalam hal ini adalah perjanjian hubungan kerja. Atas pembatalan putusan pailit tersebut maka berakibat bagi para kreditor adalah tidak dipenuhinya permohonan pernyataan pailit dan terhadap pembayaran kompensasipensiun tersebut, dan berlaku pembayaran seperti yang diupayakan oleh sistem Pembayaran yang dilakukan oleh Debitor yaitu PT. Dirgantara Indonesia.

Pertimbangan Aspek Yuridis
Pertimbangan yang utama dipakai dalam menanggapi permohonan pernyataan pailit suatu badan usaha adalah pertimbangan secara yuridis. Hal ini merupakan suatu dasar atau landasan hukum untuk memperkuat keputusan hakim. Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dalam memutus pailit adalah dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang.
Karena dalam undang-undang ini mengatur syarat-syarat serta ketentuan pemailitan suatu badan usaha. Namun berkaitan dengan kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara, maka dalam menyelesaikan kasus tersebut juga menggunakan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Karena PT. Dirgantara Indonesia juga berbentuk Persero, juga hendaknya melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang secara subtansial tidak mengatur secara detail tentang pemailitan suatu BUMN. Dalam Undang-undang ini hanya memaparkan tentang kewenangan pengajuan kepailitan suatu BUMN. Yaitu yang berwenang mengajukan pailit atas BUMN adalah Menteri Keuangan. Dan BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang ini adalah “BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka apabila pengajuan permohonan pailit untuk jenis BUMN kecuali tersebut diatas adalah selain menteri keuangan. Oleh karena itu dalam memutuskan pailit suatu BUMN haruslah jeli, karena karakteristik dari BUMN itu sangat unik berbeda dengan perusahaan jenis yang lain. Apalagi dari segi pemilik modalnya, yaitu Negara melalui menteri yang terkait, maka hal ini yang sangat erat sekali dengan asset Negara, yang tidak mungkin dilakukan sita terhadap asset Negara. Sehingga untuk mempertimbangkan putusan pailit suatu BUMN, selain dengan melihat perangkat aturan yang mengaturnya, juga harus melihat lebih cermat lagi terhadap kondisi dan karakteristik BUMN tersebut.

Komentar